Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar di Indonesia, didirikan pada tanggal 18 November 1912 di Kauman, Yogyakarta, oleh KH. Ahmad Dahlan. Pendirian ini merupakan tonggak sejarah penting dalam perkembangan Islam di Indonesia, dan peran Muhammad Sangidu, seorang murid setia Ahmad Dahlan, sangat signifikan dalam perjalanan organisasi ini.
Awal mula Muhammadiyah bermula dari diskusi Ahmad Dahlan dengan beberapa murid setianya di Langgar Kidul, salah satunya adalah Muhammad Sangidu. Pada saat itu, Indonesia masih berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda, dan masyarakat Muslim dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk dalam hal pendidikan dan dakwah. Ahmad Dahlan, yang merupakan seorang ulama dan reformis, merasa perlu mendirikan sebuah organisasi yang dapat menjadi wadah untuk menyebarkan ajaran Islam dan meningkatkan kesejahteraan umat.
Muhammad Sangidu, seorang murid yang memiliki peran sentral dalam pembentukan Muhammadiyah, tidak hanya menjadi pendukung utama, tetapi juga turut berkontribusi dalam pengembangan konsep dan visi organisasi. Ia lahir pada tahun 1883 di Kauman, Yogyakarta, dan merupakan putra dari Kiai Ma’ruf Ketib Tengah Amin dan Nyai Sebro. Sangidu adalah anak pertama dari lima bersaudara, dan latar belakang keluarganya memiliki keterkaitan dengan ulama dan kesultanan Yogyakarta.
Peran Muhammad Sangidu dalam penggantian arah dan kehidupan masyarakat Kauman menjadi sangat signifikan ketika ia dilantik menjadi Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta ke-13 pada tahun 1914, menggantikan Muhammad Khalil Kamaluddiningrat. Jabatan ini memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan Muhammadiyah di Kauman dan sekitarnya.
Salah satu kontribusi utama Sangidu adalah usulan namanya untuk organisasi yang baru didirikan. Nama “Muhammadiyah” diusulkan oleh Sangidu, terinspirasi dari nama perkumpulan Jami’ah Nuriyah yang terkenal di Kauman saat itu. Keputusan untuk menggunakan nama ini memiliki makna mendalam, mengandung arti pengikut Nabi Muhammad SAW, dan memberikan identitas kuat terhadap ajaran yang diusung oleh organisasi.
Kehidupan pribadi Sangidu tidak hanya mencakup perannya sebagai tokoh Muhammadiyah, tetapi juga sebagai Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta. Dalam jabatannya, ia terlibat aktif dalam mendirikan sekolah dan merintis Frobelschool, yang kemudian menjadi TK ABA Kauman, TK pertama di Indonesia. Upayanya dalam pendidikan mencakup pendirian sekolah tingkat lanjut, seperti Al-Qismul Aqro, yang kemudian menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah pada tahun 1932.
Sangidu bukan hanya seorang pendukung Muhammadiyah di ranah pendidikan, tetapi juga terlibat dalam mengubah adat pernikahan dan merintis perubahan dalam kalender Hijriah. Dalam upaya mengubah adat masyarakat, khususnya dalam konteks pernikahan, Sangidu menggunakan pendekatan kultural yang sesuai dengan ajaran Islam. Salah satu contohnya adalah penyederhanaan upacara pernikahan, di mana Sangidu mengganti tata cara adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dengan walimah sederhana. Pendekatan ini bukan hanya menunjukkan keberpihakan pada nilai-nilai agama, tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk mengikuti pola hidup Islam yang lebih sederhana dan bermakna.
Tantangan awal Muhammadiyah terutama terkait dengan ketegangan antara ulama tradisional dan kaum reformis. Meskipun demikian, Sangidu berhasil menjalankan tugasnya dengan sikap kooperatif terhadap Kesultanan Yogyakarta. Sebagai Kepala Penghulu, Sangidu memiliki peran strategis dalam membangun hubungan yang baik antara
Baik,