CerpenSastra

Surat Cinta dari Iberia

Guadalete, 29 Ramadhan Tahun 92

Untuk Saidah

Betapa sesungguhnya engkau harus bergembira, wahai Saidah. Ramadhan ini adalah sebuah berkah bagi Muslimin. Kiranya kau dan seluruh penduduk Rabat sudah mendengar kabar bahwa pasukan kami hampir berhasil membuka semenanjung Iberia. Aku kira bukan hanya kau dan seluruh Rabat yang gembira, namun juga seluruh saudara Muslim pastinya sedang bersuka-cita.

Sesungguhnya, ketika aku hendak berangkat menuju Ceuta, malam itu aku sangat berat hati meninggalkanmu Saidah. Namun sungguh aku hanya bisa berserah dan menitipkanmu pada Allah Ta’ala. Sekalipun kau melepas kepergianku dengan senyuman, sungguh kala itu aku hanya berusaha menahan keharuan, supaya senyumanmu tetap dapat kulihat hingga aku berpaling untuk pergi. Ada banyak cerita yang sangat ingin aku sampaikan padamu Saidah. Tadinya aku berencana menceritakannya langsung padamu. Namun, karena sesuatu hal, maka aku hanya bisa menitipkan sepucuk surat ini kepada seseorang untuk dia sampaikan kepadamu.

Tahukah kau, Saidah? Aku sempat gentar ketika menyeberangi Selat Iberia. Bagaimana tidak, dua belas ribu pasukan kami harus berhadapan dengan seratus ribu pasukan Visigoth. Tiba-tiba Jendral Thariq bin Ziyad menyuruh perahu kami memutar arah ke sebuah teluk di timur Algeciras, menuju sebuah tempat yang kami beri nama Jabal Al-Fatah, sebuah bukit karang yang tinggi. Sungguh, ketika menulis surat ini di kepalaku masih terngiang-ngiang ketika beliau membakar semangat kami dengan syairnya. Lalu, Jendral Thariq memerintahkan kami membakar perahu-perahu kami. Awalnya aku merasa sangat heran dan kaget Saidah. Namun beberapa saat kemudian aku paham bahwa beliau tidak ingin pasukan Muslimin mempunyai jalan kembali dengan cara kalah atau melarikan diri. Beliau ingin pasukan Muslimin menjemput syahidnya, atau menyambut kemenangannya. Dua pilihan yang hanya disediakan Allah untuk para mujahid seperti kami. Sungguh perkataan Jendral Thariq telah berhasil menghilangkan rasa takutku. Beliau adalah Jenderal yang bisa membangkitkan semangat juang kami. Dengan petolongan dan rahmat Allah Ta’ala, sampai saat ini sudah dua kota yang berhasil kami buka Saidah. Semoga Allah membukakan kembali kota-kota berikutnya sampai semenanjung Iberia ini terlepas dari penguasa dzalim.

Baca Juga  Surat Cinta Dari Iberia: Kisah Mujahid yang Penuh Emosi dengan Sentuhan Islami

Selama di Iberia ini, aku berkenalan dengan seorang saudara. Dia sangat baik dan banyak menolongku Saidah. Namanya Akmal, dia orang Marrakesh, namun kedua orang tuanya berasal dari Damaskus. Seperti kita Saidah, sewaktu Akmal kecil, keluarganya juga pindah ke Maroko. Seandainya saja kedua orang tua kita masih ada, mungkin saja mereka mengenal orang tua Akmal. Ketahuilah Saidah, dia pemuda yang baik, gagah, dan shaleh. Dia banyak menolongku, termasuk menolongku untuk menjaga harta paling berhargaku.

Satu hal penting yang harus engkau ketahui wahai adikku. Dalam peperangan di Guadalete, aku terkena sebuah busur panah dari tentara Visigoth, kini keadaanku cukup parah Saidah. Aku telah kepayahan. Aku merasa waktuku di dunia ini tidak akan lama lagi. Maafkan aku Saidah, aku tidak bisa menjagamu lebih lama lagi. Namun pada hari yang sama ketika aku menulis surat ini, aku telah menyerahkan tanggung jawabku kepada sahabatku. Aku sebagai walimu Saidah, meminta Akmal untuk mau menikahimu. Aku menjelaskan dan menggambarkan seperti apa engkau apa adanya, tanpa kututup-tutupi. Dengan ridho Allah yang maha pengasih, Akmal bin Zubair bersedia kunikahkan dengan engkau, wahai Saidah Binti Khatibi.

Ketika kau membaca surat ini, mungkin aku sudah pergi sebagai seorang syuhada yang gugur di medan jihad. Kau pernah berkata urusan jodohmu kau serahkan padaku bukan? Kalau begitu, aku kirimkan sepucuk surat cintaku ini bersama lelaki yang kelak akan menjadi cintamu. Aku telah berwasiat padanya agar dia yang mengantarkan surat ini langsung ke tanganmu. Jadi, lelaki yang ada bersamamu sekarang, dia adalah mahrammu, dialah imammu sekarang Saidah. Binalah rumah tangga dengannya. Kelak, ceritakanlah pada putra-putrimu bahwa pamannya adalah seorang syuhada yang gagah berani. Maafkan aku Saidah, aku tidak pulang, cukupkan kepulanganku hanya dalam surat ini. Jangan menangis Saidah! Tersenyumlah seperti saat kau melepasku pergi ke Ceuta.

Baca Juga  Polaris

Dari seorang kakak yang mencintaimu,

Said bin Khatibi

Related Posts

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *