GENMU.ID – Kajian Ramadhan Maarif Institute bertajuk ‘Memperkuat Dialog Lintas Agama, Lintas Budaya, dan Lintas Gender”, sesi pertama, Jumat (15/3/2024) di kantor MAARIF Institute, Jakarta, membedah buku karya Prof Dr Musdah Mulia berjudul, Perjalanan Lintas Batas: Lintas Agama, Lintas Gender dan Lintas Negara.
Acara ini dihadiri oleh sejumlah narasumber, di antaranya Prof. Dr. Musdah Mulia (penulis buku) dan Pdt. Dr. Albertus Patty (pendeta, aktivis lintas agama). Acara dimoderatori oleh Moh. Shofan (Direktur Program MAARIF Institute).
Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Abd. Rohim Ghazali menyampaikan kegiatan Kajian Ramadhan tahun ini dimaksudkan untuk memperkaya wacana pemikiran Islam melalui diskusi buku yang ditulis oleh para cendekiawan Muslim, seperti Prof Musdah Mulia, Prof Haedar Nashir, dan Prof Komaruddin Hidayat.
“Kegiatan ini juga dimaksudkan untuk mempertajam kembali gagasan keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan Buya Syafii Maarif, khususnya di kalangan generasi milenial”, tegas Rohim.
Musdah Mulia menyampaikan buku ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan lebih kepada perjalanan intelektual yang melahirkan dialog kreatif dengan beragam manusia, baik dari aspek agama, budaya, suku, jender, kewarganegaraan, dan sebagainya.
“Saya banyak mengangkat ragam isu krusial di beberapa negara yang saya singgahi. Misalnya, isu kelompok agama minoritas, perempuan, masyarakat adat dan penganut aliran-aliran lokal, serta para pengungsi yang terusir dari negaranya,” jelas Musdah.
Sementara Pdt Albertus Patty, yang akrab disapa Pak Berty, sangat mengapresiasi buku yang ditulis oleh Musdah Mulia. Menurutnya, sebagai pendeta, ia selalu menghadirkan dialog terbuka lintas iman, membuka wawasan kedua belah pihak. Bukan sekadar saling mengenal dan mengetahui keyakinan masing-masing. Yang utama adalah tumbuh sikap saling menghormati dan menghargai sehingga terbuka jalan untuk mengadakan berbagai kegiatan bersama.
“Prinsip ajaran gereja atau dogmatika menurutnya harus berdasarkan cinta kasih yang menciptakan keadilan dan kemanusiaan. “Kalau sebuah dogma atau doktrin kehilangan cinta, artinya sudah menyimpang dari prinsip dasar kekristenan. “Bukankah prinsip utama dalam kekristenan itu adalah cinta kasih?” jelasnya.
Acara ini dihadiri tidak kurang dari 50 orang peserta yang terdiri dari mahasiswa, aktivis, dosen, dan masyarakat. Kegiatan tadarus ini diharapkan bisa menjadi energi baru dalam upaya mensosialisasikan gagasan dan cita-cita sosial Buya Syafii, baik di ranah keislaman, kebangsaan yang mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan dan kebinekaan yang dapat diwariskan kepada anak-anak bangsa. (DM)