Oleh : Fahrurroji Firman Al-Fajar, S.Pd.I.,M.Pd
Sekretaris Majelis DIKDASMEN Dan PNF PDM Garut
Ketua Konsorsium Penggiat dan Komunitas Ayah Teladan Indonesia.
Hari Pendidikan Nasional, momen untuk tidak hanya fokus pada kebijakan makro, tetapi juga mengingat kembali peran krusial figur ayah dalam pendidikan mikro di keluarga. Masalah lokal di Garut, bisa jadi mencerminkan gejala nasional yang lebih besar.
Pendahuluan
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai momen reflektif terhadap kondisi, tantangan, dan arah masa depan pendidikan. Dalam gegap gempita perbincangan kurikulum, teknologi digital, dan reformasi kebijakan, acap kali kita abai pada ruang sunyi namun fundamental yakni “keluarga”. Ruang ini didalamnya terdapat sosok yang seringkali diam, hadir sebatas simbol otoritas atau penyedia nafkah. Padahal, di balik sosok yang tampak kaku itu, tersimpan potensi besar sebagai pendidik, pelindung, dan penanam nilai.
Fenomena ini terlihat di tingkat nasional, Menurut data UNICEF tahun 2021 sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia kehilangan kehadiran ayah mereka, baik akibat perceraian, kematian, atau pekerjaan ayah yang jauh. Selain itu, survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun yang sama mengungkapkan bahwa hanya 37,17% anak usia 0–5 tahun yang diasuh oleh kedua orang tua kandung secara bersamaan. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam peran pengasuhan, khususnya dari sisi ayah.
Di balik angka-angka tersebut tersembunyi krisis pengasuhan yang berkontribusi langsung pada berbagai persoalan sosial yang semakin mengkhawatirkan, mulai dari kekerasan seksual, bias gender, hingga gangguan perkembangan psikososial anak. Ketidakhadiran ayah, baik secara fisik maupun emosional meninggalkan ruang kosong dalam pembentukan identitas diri anak, pengendalian emosi, hingga internalisasi nilai moral. Banyak kasus pelecehan seksual, khususnya di daerah dengan dinamika sosial yang kompleks seperti Garut, menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak memiliki figur ayah yang protektif dan komunikatif cenderung lebih rentan menjadi korban ataupun pelaku kekerasan.
Dengan merefleksikan kondisi ini, kita semakin disadarkan bahwa membangun masa depan pendidikan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari penguatan peran ayah dalam keluarga. Pendidikan sejati bermula bukan dari papan tulis di kelas, melainkan dari tatapan mata, pelukan, dan keteladanan di rumah—tempat ayah dan ibu bersama-sama menciptakan ruang tumbuh yang aman, sehat, dan bermartabat bagi anak-anak mereka.
Luka Sosial dari Garut untuk Indonesia: Saat Pendidikan Tanpa Ayah Membuka Pintu Kekerasan”
Fenomena yang dulu tabu, kini kian terasa nyata di Garut, sebuah kota yang terkenal dengan spirtualitasnya, beberapa minggu terakhir justru disorot karena maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Ironisnya, sebagian besar pelaku berasal dari lingkungan terdekat korban bahkan anggota keluarga. Itu artinya ada celah yang dibiarkan terbuka di ruang domestik yang seharusnya anak mendapatkan perlindungan dan keteladanan, serta suntikan masukilin dari ayahnya.
Namun, Apa yang terjadi di Garut bisa jadi bukanlah kasus tunggal. Fenomena serupa dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, menandakan bahwa ini bukan hanya masalah lokal, melainkan gejala nasional yang sistemik. Data UNICEF dan BPS hanya mempertegas bahwa krisis pengasuhan, khususnya absennya figur ayah, telah menjadi salah satu akar persoalan sosial yang lebih luas, dari kekerasan berbasis gender, pelanggaran hak anak, hingga reproduksi nilai-nilai toksik dalam keluarga dan masyarakat.
Karena itu, sudah saatnya kita memandang ulang urgensi kehadiran ayah dalam kerangka pendidikan dan pengasuhan nasional. Ayah bukan sekadar pencari nafkah atau simbol otoritas, melainkan aktor kunci dalam membangun rumah sebagai ruang belajar pertama yang aman, adil, dan penuh kasih. Revitalisasi peran ayah dalam konteks ini menjadi agenda moral dan strategis dalam menata masa depan pendidikan Indonesia yang lebih manusiawi dan bermartabat.
Peran Ayah dalam Pengasuhan: Dari Tradisi ke Transformasi
Dalam kerangka teori ekologi perkembangan Bronfenbrenner, keluarga merupakan lingkungan mikro paling mendasar yang membentuk karakter dan perkembangan anak. Di dalamnya, sosok ayah memainkan peran vital sebagai pendidik pertama, pelindung, dan penanam nilai. Namun dalam tradisi masyarakat Indonesia, khususnya yang masih kuat dipengaruhi struktur sosial patriarkal seperti di Garut, peran ayah kerap dibatasi pada fungsi ekonomi—sebagai pencari nafkah—dan simbol otoritas dalam rumah tangga. Ayah jarang tampil sebagai pendamping emosional, komunikator aktif, apalagi fasilitator tumbuhnya spiritualitas dan kecerdasan sosial anak.
Tradisi ini, meski berakar dari nilai tanggung jawab, sering tidak disertai dengan kesadaran pengasuhan yang holistik. Akibatnya, banyak anak tumbuh dengan minim kedekatan emosional dengan ayah, yang berdampak pada lemahnya kontrol diri, rendahnya empati, dan rentannya mereka terhadap kekerasan berbasis relasi kuasa. Data dari UNICEF dan BPS memperkuat bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan di Indonesia masih sangat rendah, menciptakan celah besar dalam ekosistem perlindungan anak.
Transformasi peran ayah menjadi mendesak: dari figur otoritatif menjadi figur partisipatif, dari jarak emosional menjadi kedekatan afektif, dari simbol kendali menjadi sumber keteladanan. Penelitian Biller (1993) dan Lamb (2010) telah menunjukkan bahwa keterlibatan aktif ayah dalam pengasuhan memperkuat perkembangan empati, kontrol diri, dan ketahanan mental anak. Maka, membangun budaya baru peran ayah dalam pengasuhan bukan sekadar tugas keluarga, melainkan agenda pendidikan dan sosial yang lebih luas—yang meniscayakan kolaborasi antara nilai budaya, agama, dan kebijakan publik.
Menuju Pendidikan Berbasis Pengasuhan: Rekomendasi untuk Indonesia
Masa depan pendidikan Indonesia tidak cukup ditopang oleh kebijakan kurikulum atau digitalisasi ruang kelas semata. Di balik setiap angka partisipasi sekolah dan target kompetensi, ada fondasi yang jauh lebih mendasar namun sering terabaikan: kualitas relasi pengasuhan dalam keluarga.
Ketika krisis pengasuhan, khususnya keterlibatan ayah menjadi pola nasional, maka reformasi pendidikan tak bisa lagi menghindari ranah domestik. Pendidikan berbasis pengasuhan menuntut investasi yang bersifat sosial dan emosional, bukan hanya infrastruktur. Keluarga bukan sekadar unit ekonomi, tetapi tempat pertama dan utama pendidikan karakter. Untuk itu, beberapa langkah strategis dan sistemik yang dapat dilakukan antara lain:
- Edukasi dan pelatihan ayah tentang pengasuhan berbasis nilai, empati, dan perlindungan anak. Pelatihan ini harus melampaui teknis parenting, dan masuk ke wilayah refleksi diri dan rekonstruksi peran laki-laki dalam keluarga.
- Integrasi narasi dan praktik baik keterlibatan ayah dalam kurikulum pendidikan formal dan nonformal, mulai dari PAUD hingga pendidikan orang tua berbasis masyarakat.
- Membangun sistem deteksi dini dan penanganan kekerasan berbasis keluarga, termasuk menyasar institusi pendidikan yang masih memelihara budaya diam terhadap kasus kekerasan.
- Melibatkan tokoh agama dan budaya sebagai agen transformasi sosial untuk mendefinisikan ulang maskulinitas—bukan sebagai dominasi, melainkan kepemimpinan yang penuh kasih dan tanggung jawab moral.
Transformasi ini bukan hanya persoalan individu, tetapi perlu dukungan kebijakan afirmatif dan gerakan sosial yang berkelanjutan. Pembangunan peradaban dimulai dari keluarga sebagai “madrasah pertama”, di mana nilai Islam, keadilan, dan kasih sayang ditanamkan secara konsisten sejak dini.
Penutup
Hari Pendidikan Nasional sepatutnya menjadi momen bukan hanya untuk menyoroti kebijakan makro, tetapi juga untuk mengangkat kembali pentingnya figur ayah dalam pendidikan mikro: keluarga. Refleksi dari Garut memberikan gambaran bahwa geografi bukan hanya soal lokasi fisik, melainkan juga kondisi sosial yang harus diubah melalui pendekatan nilai dan cinta. Di tengah gelombang krisis moral dan kekerasan terhadap anak, ayah adalah harapan yang pulang. Saatnya membangun pendidikan yang berpihak pada masa depan dan masa depan itu dimulai dari pelukan ayah. (*)